JAKARTA | Saat ini Indonesia dihadapkan pada ancaman pertahanan akibat adanya ketidakpastian geopolitik dan posisi Indonesia yang strategis. Indonesia semakin dihadapkan pada kerawanan dan risiko yang bersifat dinamis dan kekinian, utamanya di kawasan yang ditimbulkan dari tarung global AS-Tiongkok.
“Tantangan tidak hanya berasal dari negara lain, tetapi juga karena adanya pergeseran centre of gravity (CoG),” ujar Andi Widjajanto (Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud), Senin (15/1/2024).
Ibu Kota Nusantara (IKN) adalah pusat gravitasi baru sehingga menjadi keniscayaan untuk meningkatkan Kekuatan Pertahanan Indonesia dengan daya gentar yang mampu menghalau berbagai jenis ancaman.
“Pengembangan postur-postur militer yang saling terkoneksi dan terpusat pada IKN harus diperkuat dengan peningkatan kapasitas Anti Akses/Penangkalan Wilayah (A2/AD) sebagai Benteng Nusantara untuk melawan ancaman di berbagai zona pertahanan. Kebutuhan untuk menata ulang gelar pasukan (redeployment) akibat adanya pergeseran tersebut harus didasarkan pada Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata) dan Sistem Pertahanan Berlapis,” lanjut Andi. Hal ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai Garda Samudra (Guardian of the Seas) yang dapat diwujudkan melalui pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang mengarah pada pertahanan 5.0 yang SAKTI, yakni perkasa dengan teknologi terkini.
“Pertahanan kita mesti masuk pada wilayah 5.0, dengan teknologi SAKTI, dengan rudal hipersonik, senjata siber, sensor kuantum, dan sistem senjata otonom,” tukas Ganjar saat pemaparan visi misi pada debat ketiga (7/1). Teknologi-teknologi tersebut tidak tertinggal generasinya dari teknologi senjata milik negara-negara adidaya. Penguatan kapasitas pertahanan juga membutuhkan sinergi dari seluruh matra (trimatra terpadu) agar mampu menjalankan operasi lintas medan, termasuk dengan memanfaatkan instrumen siber.
Untuk melakukan transformasi pertahanan menjadi Garda Samudra, Indonesia membutuhkan anggaran pertahanan hingga 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Saat ini Indonesia masih jauh dari upaya modernisasi karena anggarannya masih berada di bawah 1% dari PDB, jauh di bawah anggaran pertahanan negara-negara tetangga maupun negara adidaya, sehingga belum optimal dalam menghadapi gejolak geopolitik. Kebijakan pengadaan alutsista juga belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya (user),” tutur Reine Prihandoko (Anggota Eksekutif TPN Ganjar-Mahfud). Indonesia juga masih harus menghadapi sejumlah tantangan dalam melakukan modernisasi pertahanan, salah satunya ditandai dengan pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) yang tidak sesuai dengan target. “Menurut data dari KKIP, pada tahun 2023, capaian MEF Indonesia hanya sebesar 65,49% dari target, yang bahkan sudah disesuaikan ulang menjadi hanya sebesar 79%. Target MEF diragukan dapat terpenuhi selama satu tahun ini (2024),” lanjut Reine.
Permasalahan ini terjadi karena minimnya anggaran pertahanan yang dapat dialokasikan untuk membeli alutsista dengan teknologi mutakhir dan kurangnya sumber pendanaan untuk melakukan pengadaan senjata. “Preferensi Indonesia masih mengarah ke impor senjata dan membeli alutsista bekas dari negara lain yang usia pakainya tidak lama, rentan menimbulkan kecelakaan, dan kesiapan operasinya rendah. Semakin besarnya pembatasan data yang dapat diakses publik juga menunjukkan komitmen transparansi yang kurang serius,” sambung Andi.
Maka dari itu, Indonesia membutuhkan perencanaan pertahanan yang ajek dan konsisten terkait jenis alutsista yang ingin diprioritaskan untuk dibeli dan mitra strategis mana yang ingin diajak untuk bekerja sama. “Ketika kemudian kita ingin membangun sistem pertahanan kita, maka dalam perencanaan kita tidak boleh gonta-ganti, kita musti ajek, musti konsisten. Kedua, kita musti mendengarkan betul-betul dari seluruh matra. Maka, seluruh proses perencanaannya harus bottom-up,” tandas Ganjar pada saat debat ketiga (7/1). Ganjar-Mahfud mengupayakan belanja alutsista yang tidak utang dan tidak usang agar 100% siap perang dan memiliki 0% toleransi kecelakaan. Oleh karena itu, Ganjar-Mahfud menekankan bahwa wajib untuk mencapai 7% pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengalokasikan anggaran pertahanan 1-2% dari PDB, dan mengubah belanja alutsista menjadi investasi pertahanan guna menunjang pergeseran gelar kekuatan dan kebutuhan tiap-tiap matra, utamanya pada matra laut dan udara.
Permasalahan lain yang terkadang luput untuk diperhatikan adalah mengenai kesejahteraan prajurit, utamanya terkait kurangnya pemenuhan fasilitas kedinasan dan pendidikan bagi keluarga prajurit. “Saya bersama mereka, saya mendengarkan, saya berkeliling Indonesia, saya mampir bertemu di rumah-rumah mereka, di asrama-asrama mereka. Maka, kami tidak mau kalau kemudian mereka, mohon maaf, bertempur dan mati sia-sia. Saya tidak rela,” ucap Ganjar saat segmen kelima pada debat ketiga. “Kesejahteraan prajurit dan keluarga menjadi begitu penting mendapatkan perhatian, dan beasiswa kuliah untuk anak prajurit dan bhayangkara yang membutuhkan perlu kita lakukan,” tambah Ganjar saat menutup debat. Tidak hanya itu, program unggul 10 Juta Hunian, termasuk untuk prajurit dan keluarganya merupakan bentuk komitmen dari Ganjar-Mahfud dalam memenuhi hak-hak prajurit aktif hingga memasuki masa purna tugas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 dan 51 dari Undang-Undang TNI.(TIM/RED)