JAKARTA | Dalam pledoi yang berjudul “Tuntutan Sadis Penuntut Umum KPK”, Tim Penasihat Hukum Lukas Enembe (TPHLE) berpendapat bahwa tuntutan 10 tahun lebih, terhadap terdakwa mantan Gubernur Papua Lukas Enembe identik, dengan vonis hukuman mati, mengingat sakit terdakwa yang makin parah.
“Status sakit terdakwa, ketika diperiksa oleh dokter-dokter RSPAD, menujukkan status sakit yang makin berat, sehingga kami Penasihat Hukum, setelah memperhatikan kepedulian Penuntut Umum KPK, terhadap sakitnya terdakwa, sejak mulai tingkat penyelidikan sampai penyidikan, Penasihat Hukum berkesimpulan bahwa Penuntut Umum KPK, mengabaikan Hak Azasi terdakwa untuk pengobatan yang lebih maksimal,”ungkap Koordinator TPHLE, Prof. OC Kaligis, saat membacakan pledoi dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi, yang dituduhkan terhadap mantan Gubernur Papua Lukas Enembe di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis (21/09/2023).
“Dengan tuntutan yang fantastis itu, penuntut umum KPK mengharapkan kematian terdakwa di penjara,” tegas, Prof. OC Kaligis.
Ditambahkannya, justru yang menaruh perhatian terhadap pengobatan terdakwa adalah Yang Mulia Majelis Hakim, melalui pembantaran, dan anjuran kepada Penuntut Umum KPK, agar jadwal berobat terdakwa, dipenuhi.
“Untuk perhatian Yang Mulia Majelis Hakim, kami para Penasihat Hukum Terdakwa, menyampaikan terima kasih sedalam dalamnya. Bahkan teman-teman sesama tahanan terdakwa, sampai-sampai membuat surat terbuka, mengenai sakit terdakwa yang makin berat. Kami Para Penasihat Hukum yang mengamati perkembangan sakit terdakwa, yang makin berat, hanya mampu mendoakan terdakwa, semoga Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang dapat memberi mujizat kesembuhan terdakwa,” tukas Kaligis.
Menanggapi kasus yang membelit Lukas Enembe, Kaligis mengutip tulisan Santo Agustinus dalam bukunya Confessiones, “Et inquitum est cor meum, Domine, donec requiscat in Te : Betapa resah hati saya, Tuhanku, sampai disaat saya istirahat di dalam tanganmu. Carut marutnya dunia hukum, menyebabkan keresahan bagi kami para pencari keadilan”.
“Benar, disaat mengikuti perkara terdakwa, sudah sejak semula, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggiring opini, sebelum sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Terdakwa difitnah sebagai penjudi kakap, tanpa JPU, berhasil menyita kartu anggota platinum terdakwa. Terdakwa difitnah sebagai pemilik Hotel Angkasa, padahal sertifikat kepemilikan hotel itu, atas nama Rijatono Lakka. Termasuk fitnahan, bahwa terdakwa punya banyak rumah, tanpa JPU berhasil menyita sertifikat-sertifikat tanah atas nama terdakwa,” ujar Kaligis.
Ditambahkannya, terdakwa difitnah menggunakan pesawat pribadi, menyuruh pramugari membawa uang ratusan juta rupiah, dan banyak lagi penggiringan opini ke publik, yang bertentangan dengan Azas Praduga Tak Bersalah.
“Semua fitnahan-fitnahan itu memang sangat meresahkan hati kami para Penasihat Hukum, dalam menggali kebenaran dan keadilan. Seandainya saja 17 saksi yang dihadapkan oleh JPU, keterangan dibawah sumpahnya menjadi pertimbangan tuntutan JPU, kami Penasihat Hukum yakin, tuntutan JPU adalah tuntutan bebas,”ungkapnya.
Dalam pledoinya, TPHLE menanggapi mengenai dugaan adanya penerimaan dari pengusaha Piton Enumbi, kepada Lukas Enembe, seperti dalam tuntutan yang dibacakan JPU di muka persidangan.
Dalam tuntutannya, Penuntut Umum tetap mendakwa mantan Gubernur Papua telah menerima hadiah berupa uang dan barang, dari Piton Enumbi sebagaimana dimaksud dalam tuntutan PU pada halaman 20-22 yaitu: Tanggal 10 Januari 2017, terdakwa menerima uang sebesar Rp. 1.170.000.000,-, yang dikirim oleh Piton Enumbi ke rekening milik Terdakwa di Bank BCA No. 8140099938.
Menanggapi hal itu, Kaligis mengatakan, bahwa Piton Enumbi tidak pernah didengar keterangannya dalam persidangan dan tidak pernah ada saksi lain, yang mengetahui mengenai adanya transferan yang dilakukan Piton Enumbi pada tanggal 10 Januari 2017.
“Penuntut Umum hanya memperlihatkan bukti setoran, yang parafnya diragukan keasliannya karena terdakwa sendiri tidak pernah mengetahui adanya setoran tersebut,” ujar Kaligis.
Dalam tuntutannya, JPU menuduhkan, bahwa :
b. Tanggal 10 Agustus 2018, terdakwa menerima uang yang dikirim oleh Piton Enumbi ke rekening Terdakwa di Bank BCA, nomor rekening 8140099938 sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Menanggapi hal itu, Kaligis mengatakan, bahwa saksi, Piton Enumbi, tidak pernah diperiksa saat penyidikan maupun saat pemeriksaan di persidangan, sehingga fakta ini tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena tidak ada satu saksi pun yang mengetahui mengenai adanya transferan tersebut, tidak ada satu saksi pun yang mengetahui mengenai asal muasal uang transferan tersebut.
Sedangkan mengenai dugaan adanya penerimaan dari pengusaha Rijatono Lakka, kepada Lukas Enembe, seperti yang dituduhkan JPU dalam tuntutannya, Kaligis mengatakan, bahwa Penuntut Umum dalam tuntutannya, halaman 24, menyatakan terdakwa, telah menerima suap dan gratifikasi dari Rijatono Lakka sebesar Rp. 1. 000.000.000,-.
Bahwa terungkap fakta seluruh saksi yang dihadirkan Penuntut Umum dalam persidangan, tidak ada yang menyatakan terdakwa menerima hadiah atau gratifikasi dari saksi Rijatono Lakka.
Bahwa dalam persidangan perkara dengan terdakwa Rijatono Lakka. Tidak ada seorang saksipun di bawah sumpah yang memberi keterangan dimuka persidangan mengenai adanya pemberian suap atau gratifikasi kepada terdakwa.
“Mengenai transfer uang melalui Fredrik Banne ke rekening terdakwa yang dilakukan pada tanggal 11 Mei 2020, itu adalah uang milik terdakwa sendiri, dimana pada saat itu terdakwa meminta bantuan Rijatono Lakka untuk mentransfer uang milik terdakwa untuk berobat, karena saat itu terdakwa berada di Jakarta,”jelas Kaligis.
Bahkan peristiwa transfer tanggal 11 Mei 2020, telah diakui oleh Rijatono Lakka saat pemeriksaan di persidangan, yang menyatakan, bahwa uang sebesar Rp.1.000.000.000,- tersebut adalah milik terdakwa sendiri.
Kata Kaligis, Penuntut Umum dalam tuntutannya halaman 25 menyatakan terdakwa menerima uang dari Rijatono Lakka pada kurun waktu 2019 s/d 2021, penerimaan uang dari Rijatono Lakka sebesar Rp34.429.555.850,00, dalam bentuk pembangunan atau renovasi fisik aset – aset milik terdakwa melalui CV Walibhu dengan Fredrik Banne sebagai pelaksana lapangannya, yaitu :
Hotel Angkasa dengan total pengeluaran Rp.25.958.352.672,00 Milik Rijatono Lakka sendiri. Bahwa melalui persidangan terbukti fakta sebagai berikut, fakta Hotel Angkasa adalah milik Rijatono Lakka sebagaimana telah disampaikan oleh Rijatono Lakka sendiri pada persidangan tanggal 7 Agustus 2023 dan didukung Sertifikat Hak Milik No. 16 atas sebidang tanah seluas 1525 M2 atas nama Rijatono Lakka yang terletak di Jl. S.Condro Negoro, Kel. Angkasa Pura, Kec. Jayapura Utara, Kotamadya Jayapura Propinsi Irian Jaya, berdasarkan surat ukur No. 51/999.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. AHU-0080458.AH.01.01, tahun 2021 tanggal 16 Desember 2021 terkait pendirian badan hukum PT. Grand Royal Angkasa beserta lampirannya. Dari keterangan saksi Rijatono Lakka dan didukung dengan bukti No.723 dan No. 584 membuktikan Hotel Angkasa tersebut, bukan merupakan milik terdakwa.
“Sehingga segala pengeluaran sebesar Rp.25.958.352.672,00, bukanlah diberikan kepada terdakwa, karena biaya yang dipergunakan untuk pembangunan hotel itu adalah uang milik Rijatono Lakka sendiri, dengan demikian dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum menjadi tidak terbukti,” ujar Kaligis.
Dalam analisa yuridisnya, Kaligis mengatakan, bahwa Penuntut Umum dalam tuntutannya, menyatakan adanya penerimaan hadiah atau janji yang diterima terdakwa dari Piton Enumbi sebesar Rp10 milliar lebih namun berdasarkan keterangan saksi Mikael Kambuaya, saksi Benyamin Tiku, saksi Rijatono Lakka dan saksi Gerius One Yoman dimuka persidangan, menyatakan tidak ada penyerahan uang kepada terdakwa (Lukas Enembe).
“Bahwa saksi tidak pernah melihat terdakwa menerima uang dari kontraktor, bahwa terdakwa tidak terlibat sampai teknis terkait tender seperti dokumen lelangnya. Bahwa saksi tidak mengetahui ada penyerahan uang dari Piton Enumbi kepada terdakwa, Bahwa saksi tidak mengetahui ada koordinator kontraktor menyerahkan uang fee kepada terdakwa, bahwa saksi tetap melelang pekerjaan melalui e-tender. Yang ikut adalah banyak kontraktor, bahwa terdakwa tidak terlibat sampai teknis terkait tender seperti dokumen lelangnya. Bahwa saksi tidak mengetahui ada penyerahan uang dari Piton Enumbi kepada terdakwa,” tukas Kaligis.
Dalam persidangan, saksi Gerius One Yoman, selaku Kepala Dinas di PUPR Provinsi Papua sejak tahun 2018 sampai dengan 2022 bulan Oktober, menerangkan, pernah menjadi PPK di proyek pengadaan jalan Entrop-Hamadi yang dimenangkan PT. Tabi Bangun Papua.
Saksi Gerius menerangkan bahwa semua prosedur pelelangan dilaksanakan secara online, bahwa saksi menerangkan tidak pernah mengetahui pemberian fee yang dilakukan Rijatono Lakka kepada terdakwa dan saksi menerangkan tidak pernah menerima commitment fee dari Rijatono Lakka.
Sedangkan saksi Rijatono Lakka, menjelaskan di muka persidangan bahwa, saksi mendapatkan proyek rumah jabatan sebelum kenal terdakwa, bahwa saksi mendapatkan proyek rumah jabatan yang diikuti melalui lelang secara elektronik.
“Bahwa dalam mendapatkan proyek tersebut, saksi tidak memberikan fee atau uang apapun kepada terdakwa, bahwa saksi menerangkan pihak yang mengurus lelang di PT Tabi Bangun Papua itu, Pak Willicius karena ia kepala administrasi dan khusus mengurus proses tender dan salah satu tugasnya bertemu dengan orang di pokja.”
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kata Kaligis, maka unsur menerima hadiah atau janji yang diajukan oleh Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa. Karenanya terdakwa mohon dinyatakan bebas.
Ditambahkan Kaligis, dari 184 saksi dalam berkas perkara dan hanya 17 saksi yang diperiksa dalam persidangan, Penuntut Umum tidak bisa membuktikan adanya pemberian hadiah/uang dari para kontraktor kepada Terdakwa, hal ini sesuai dengan keterangan saksi Rijatono Lakka.
Selanjutnya keterangan saksi Mikael Kambuaya dan saksi Gerius One Yoman selaku Pengguna Anggaran menerangkan di muka persidangan, bahwa terdakwa tidak pernah mencampuri E Tender barang dan jasa yang ada pada Dinas PUPR dan tidak ada pihak kontraktor yang memberikan hadiah kepada terdakwa.
Ditambahkan Kaligis, bahwa Pengguna Anggaran Dinas PUPR Propinsi Papua dalam proyek pengadaan barang dan jasa pun telah diperiksa BPK, dan tidak ditemukan adanya pemberian hadiah, kelebihan ataupun penggunaan uang negara dalam proyek-proyek di dinas PUPR oleh terdakwa selaku Gubernur Papua, sehingga BPK memberi penetapan hasil temuannya dengan Wajar tanpa Pengecualian setiap tahunnya sebanyak 9 kali.
Dijelaskannya, bahwa sesuai dengan Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
“Ketika para pengguna anggaran Propinsi Papua setiap tahunnya diperiksa BPK selalu mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian (9 kali), hal itu membuktikan tidak ada campur tangan terdakwa terhadap keuangan Negara atau campur tangan terhadap Anggaran Belanja Pendapatan Daerah (ABPD),”jelasnya.
Bahwa dengan hasil Sembilan kali pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dengan hasil Wajar Tanpa Pengecualian, terdakwa sebagai Gubernur Papua, telah membuktikan dalam pemerintahan terdakwa bebas korupsi, sehingga membuktikan tidak ada uang APBD yang disalahgunakan oleh terdakwa, hal ini sesuai dengan keterangan ahli Dr. H. Eko Sembodo, S.E., M.M., M.Ak., CfrA dan Dr. Hernold Ferry Makawimbang, M.Si., M.H.).
Disebutkan Kaligis, selain hasil pemeriksaan BPK, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) selaku mitra kerja Terdakwa, punya pendapat yang sama dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan RI, Oleh karena itu DPRP selalu menerima pertanggungjawaban terdakwa selaku Gubernur Propinsi Papua.
“Terbukti dalam persidangan, Penuntut Umum tidak bisa membuktikan adanya penerimaan uang atau hadiah kepada Terdakwa dengan tujuan untuk menggerakan sehubungan dengan jabatan “memberikan pekerjaan” sehingga kontraktor menerima pekerjaan,”ungkapnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka unsur Padahal Diketahui Atau Patut Diduga Bahwa Hadiah Atau Janji Tersebut Diberikan Untuk Menggerakan Agar Melakukan Atau Tidak Melakukan Sesuatu Dalam Jabatannya Yang Sekarang Dengan Kewajibannya, yang diajukan oleh Penuntut Umum, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dilakukan oleh terdakwa. Karenanya terdakwa mohon dinyatakan bebas.
Dengan didasarkan pada seluruh fakta hukum yang terungkap di persidangan, Kaligis memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim berkenan memberikan Putusan sebagai berikut :
MENGADILI
1. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan ke satu pertama melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1 ) ke 1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
2. Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan ke dua melanggar Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Membebaskan terdakwa karena itu dari seluruh dakwaan (vrijspraak);
4. Mengembalikan barang bukti nomor urut 1 sampai nomor urut 1024 dari siapa barang bukti tersebut disita.
5. Memulihkan segala hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, nama baik, serta harkat dan martabatnya;
6. Membebankan biaya perkara pada Negara.(RED/RL)