JAYAPURA | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta diwarning untuk mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam penanganan perkara hukum Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Pasalnya, kondisi kesehatan Gubernur Enembe kian memburuk. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD), Minggu malam 16 Juli 2023 karena sakit parah.
Bila terjadi kondisi fatal terhadap tokoh paling berpengaruh di Papua itu, dikuatirkan menimbulkan masalah baru di Bumi Cenderawasih. Rakyat Papua pasti tidak percaya dengan penegakan hukum Indonesia. Karena sudah sangat jelas, pemimpinnya diperlakukan secara tidak adil.
Apalagi Gubernur Enembe menjalani proses dalam keadaan yang sakit. Semua rakyat Papua telah mendengar, menonton dan menyimak bahwa Majelis Hakim yang menyindangkan Gubernur mereka, secara terbuka di dalam persidangan menyatakan bahwa hasil pemeriksaan laboratorium, Enembe mengalami kerusakan ginjal kronis. Enembe secara medik sudah dinyatakan gagal ginjal.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Prof. Dr. Melkias Hetharia, SH., M.Hum menekankan secara prinsipil orang (tersangka ataupun terdakwa) yang sakit tidak bisa diperiksa dalam proses hukum.
“Aturan hukum dimanapun, hal ini berlaku. Bahwa orang yang sakit tidak bisa diperiksa dalam proses hukum. Kalau kondisi kesehatannya memburuk, bagaimana? Tidak mungkin proses persidangan Gubernur Enembe dilanjutkan secara baik. Itu yang harus menjadi perhatian utama aparat penegakan hukum,”jelasnya,Senin malam, 17 Juli 2023 di Jayapura.
Prof Hetaria menyatakan penegakan hukum harus pasti, tapi juga memperhatikan hak-hak tiap orang. Aparat penegakan hukum yang menangani perkara patut memperhatikan sisi kemanusian Gubernur Enembe sebagaimana Hukum Kodrat yang dijabarkan dan dlindungi konstitusi negara kita Indonesia.
“Hukum kodrat lebih banyak menekankan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijabarkan dan dan dilindungi kontitusi dan peraturan perundang-undangan kita. Dari awal penanganan kasus pak Enembe kita telah melihat bahwa kondisi kesehatannya kurang baik. Itu diperjelas dengan hasil pemeriksaan dari dokter yang ditunjuk KPK maupun dokter asal Singapura,”jelasnya.
“Jadi kita mau menegakan hukum sepasti- pastinya, tapi orangnya (Gubernur Enembe) berada dalam sakit, secara alamiah dan kemanusiannya, tidak mungkin untuk diperiksa.”
Ia menyatakan keputusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hari ini, Senin 17 Juli 2023 yang menunda pemeriksaan Gubernur Enembe didepan pengadilan sudah tepat, agar penanganan medik terhadap Enembe bisa berjalan maksimal. “Sudah tepat tepat hakim memberikan keputusan menunda untuk memeriksa didepan pengadilan,”ujarnya.
Berdasarkan hukum acara pidana,jelas Prof Hetaria, pemeriksaan medis Gubernur Papua memang dilakukan oleh tim dokter yang ditunjuk aparat penegak hukum dalam hal ini KPK guna memastikan kondisi kesehatannya. Namun demikian, Gubernur Enembe juga punya hak untuk mendapatkan layanan medis dari dokter yang ia percaya.
“Secara hukum, berdasarkan hukum acara pidana kita, memang dokter yang memeriksa kesehatan(Gubernur Enembe) harus ditunjuk oleh aparat penegak hukum untuk memastikan kondisi kesehatan yang bersangkutan. Namun dari sisi Hukum Kodrat maupun undang-undang kesehatan kita, menegaskan bahwa seorang pasien punya hak untuk memilih dan menentukan dokternya untuk memeriksa kesehatan dirinya sendir,”jelasnya.
Oleh karenanya, Guru Besar Uncen itu menyarankan agar dalam pemeriksaan kesehatan Gubernur Papua melibatkan tim dokter KPK dan tim dokter asal Singapura yang selama ini memiliki rekam medik lengkap atas Gubernur Enembe.
“Perlu ada koordinasi dan kerjasama antara para dokter KPK maupun tim Dokter Singapura untuk memastikan kesehatan pak Lukas Enembe. Karena beliau dari awal lebih mempercayakan pemeriksaan kesehatannya kepada dokter Singapura,”pungkas Prof Hetaria.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membantarkan penahanan Gubernur Papua Lukas Enembe karena harus menjalani perawatan medis di RSPAD Gatot Subroto. Sidang pun ditunda dan dilanjutkan untuk mendengarkan second opinion ihwal kondisi kesehatan Lukas dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Kami sudah menetapkan pembantaran sampai dengan 31 Juli 2023 maka untuk sidang selanjutnya tanggal 1 (Agustus 2023), hari Selasa ya, mudah-mudahan dokter dari IDI juga bisa (hadir), supaya maksudnya waktu itu kita bisa gunakan untuk mengambil keterangan dari second opinion dari IDI ya,” kata Ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 17 Juli 2023.(END/BEL)