JAKARTA | Gubernur Papua Lukas Enembe hari ini kembali menjalani persidangan. Terhitung tiga kali, Enembe menjalani persidangan. Sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal Senin (12/6/2023). Sidang tersebut ditunda lantaran Gubernur Enembe menolak disidang secara online atau daring.
Sidang kedua digelar pada Senin,19 Juni 2023. Sidang pembacaan dakwaan, dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dengan agenda pembacaan dakwaan dan sekaligus Gubernur Enembe mengajukan Nota keberatan (Eksepsi).
Sidang ketiga berlangsung hari ini, Kamis (22/6/2023) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan agenda pembacaan tanggapan jaksa atas eksepsi Lukas.
Dari ketiga persidangan yang dilalui Gubernur Enembe sebagai terdakwa kasus suap dan gratifikasi, kondisi kesehatan tokoh Papua itu kian memprihatinkan. Ia telah 5 kali mengalami stroke dan kondisi ginjal Gubernur Enembe telah berada di fase kritis yang berdampak pada pembekakan kaki sehingga kesulitan berjalan saat memasuki ruang sidang Pengadilan.
Hakim Pengadilan Tipikor yang diketuai Rianto Adam Pontoh menyatakan secara kasat mata, Lukas Enembe masih bisa mendengar, karenanya masih bisa mengikuti persidangan. Namun kalau dilihat fisik, kakinya bengkak karena fungsi ginjal yang terganggu. “Sesuai hasil lab (laboratorium) ada tanda bintang dua, krisis kesehatan ya,” ucap Rianto.
Pada sidang kedua, Hakim Rianto Pontoh dengan tegas menyampaikan bahwa hukum diatasnya adalah keadilan. Oleh karena itu, persidangan digelar dengan memperhatikan kondisi kesehatan terdakwa. Bila Enembe mengalami kendala-kendala kesehatan yang fatal, maka pengacaranya harus segera memberitahukan ia dan para hakim yang menyidangkannya.
Pengacara Gubernur Lukas Enembe, OC Kaligis, mengakui kondisi kesehatan kliennya sangat membahayakan. Tensi darah Enembe rata-rata di atas 200 mmHg. Tekanan darah yang tidak terkontrol tersebut dapat mengakibatkan gangguan organ seperti ginjal, jantung, atau gangguan pembuluh darah, yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau komplikasi lain. “Kondisi tersebut bisa menyebabkan koma,”ujarnya.
Tim pengacara Enembe lainnya, Petrus Bala Pattyona, mengatakan seluruh tindakan medis dokter KPK dan IDI terhadap Gubernur Enembe tidak melibatkan keluarga dalam penanganan medis. Tindakan medis yang diambil tim dokter dari kedua institusi tersebut juga tidak mendapat persetujuan keluarga.
Padahal secara etika profesi sebagaimana Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 15 menyebutkan degan tegas “Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya.”
Unfit to stand trial
Dalam beberapa disiplin ilmu, seperti psikiatri dan psikologi forensik dikenal istilah unfit to stand trial atau not fit to stand trial. Istilah ini digunakan untuk seseorang yang tidak cakap atau tidak layak disidangkan di pengadilan.
Selain perkara mantan Presiden Soeharto, masih ada beberapa perkara serupa yang pernah dihentikan pengadilan lantaran terdakwa sakit permanen. Khusus untuk KPK, tercatat tiga perkara yang dikembalikan majelis hakim kepada penuntut umum karena terdakwa dianggap tidak layak disidangkan.
Salah satunya Mantan bupati Lombok Barat Iskandar yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 2008. Mantan Bupati Lombok Barat ini didakwa KPK melakukan melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus tukar guling (ruislag) aset Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. Ia dianggap telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp1,64 miliar.
Namun, di tengah proses pemeriksaan perkara, majelis hakim yang diketuai Gusrizal mengeluarkan penetapan. Majelis memerintahkan penuntut umum menghentikan pemeriksaan perkara Iskandar sampai kondisi kesehatan Iskandar pulih, sehingga dia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Penetapan majelis ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan hasil observasi tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Iskandar mengidap demensia. Hasil observasi pun diperkuat oleh keterangan dua dokter, Arya Goefinda dokter ahli penyakit dalam khusus usia lanjut dan Charles Efert D, yang dihadirkan sebagai ahli di persidangan. Selain demensia, Iskandar juga ternyata mengidap penyakit lain, seperti infeksi saluran kandung kemih, batu empedu, ginjal, diabetes melitus, tekanan darah tinggi dan pembengkakan prostat.
Gejala demensia itu sebenarnya sudah diperlihatkan Iskandar selama menjalani persidangan. Iskandar tiba-tiba buang air kecil di persidangan.
Alih-alih membaik, kondisi kesehatan Iskandar semakin menurun hingga akhirnya meninggal di Mataram, Nusa Tenggara Barat pada Januari 2010.
Dalam kasus Gubernur Papua, Lukas Enembe, pemeriksaan medis yang telah dijalaninya telah membuktikan bahwa Enembe mengalami berbagai ganguan kesehatan yang serius. Ginjalnya berada di fase kritis. Ia juga Sudah berulang kali stroke dan bukan tidak mungkin ia bakal koma bila tidak mendapatkan penanganan medis yang profesional.
Dalam eksepsinya, Enembe dengan tegas mengatakan “Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK.”
Apabila proposisi yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe terjadi dan ia meninggal dunia didalam tahanan ataupun disaat sidang, apakah KPK bisa mengembalikan nyawanya atau bisa bertanggung jawab?
Rakyat Papua saat ini menyaksikan dengan seksama seluruh proses yang sedang dijalani Enembe dalam keadaan sakit. “Diseluruh dunia, terdakwa yang sakit diberikan kesempatan untuk berobat hingga sembuh. Supaya sidang berjalan layak. Tapi trapapa. KPK silahkan ko bikin ko pu mau sudah..! nanti ko trima ko pu uang kembali, “ujar salah satu pengunjung sidang.(RED/HAS)