JAKARTA | Tim Advokasi Hak Masyarakat Adat Intan Jaya, Senin (28/3/2022) secara resmi menyerahkan aspirasi masyarakat adat Blok Wamebu, Intan Jaya, Papua, menolak eksploitasi tambang gunung emas di Blok B Wabu dan menolak rencana holding BUMN pertambangan MIND ID melakukan penambangan Blok Wabu, Intan Jaya Papua.
Aspirasi itu disampaikan Ketua Tim Advokasi Hak Masyarakat Adat Intan Jaya, Bartolomeo Smith didampingi tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa dan kaum perempuan Papua saat rapat dengan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Hariyadi di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta.
Bartolomeo juga membacakan sembilan butir tuntutan masyarakat adat Blok Wabu, Intan Jaya, Papua, yakni pertama menolak negara eksploitasi tambang gunung emas di Blok B Wabu Intan Jaya Papua. Kedua, mendesak Menteri ESDM RI segera mencabut izin operasi yang telah diterbitkan untuk PT Antam Tbk.
Ketiga, menolak segala macam pembahasan terkait eksploitasi tambang gunung emas dengan alasan apapun. Keempat Bartolomeo juga mengungkapkan masyarakat adat Intan Jaya hidup dalam ketakutan, tekanan, dan mengungsi ke daerah lain sejak 2019-2020 akibat konflik bersenjata antara TNI Polri dan TPNPB.
Kelima, masyarakat adat Intan Jaya yang mendiami seluruh wilayah Intan Jaya dan seluruh dunia sebagai pemilik hak kesulungan atas seluruh hak ulayat menyatakan sikap menolak eksploitasi tambang gunung emas atas nama kepentingan apapun.
Butir keenam, memohon Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian ESDM, BUMN, tidak melibatkan masyarakat Intan Jaya, pemerintah Intan Jaya, Gubernur Papua, DPR Papua, serta berbagai pihak lain membicarakan eksploitasi tambang gunung emas Blok B Wabu.
Butir ketujuh pihaknya minta Kementerian BUMN hentikan pencarian investor dan lobi-lobi investor, karena adanya rencana eksploitasi tambang gunung emas maka masyarakat Blok Wabu menderita dan mati di atas tanah sendiri.
Tuntutan ke delapan, masyarakat adat Intan Jaya meminta agar tidak mengizinkan dan menandatangani perizinan eksploitasi tambang gunung emas, dan segera mencabut 4 perusahaan yang memiliki wilayah konsesi.
Dan tuntutan ke Sembilan atau terakhir adalah msyarakat adat Intan Jaya ingin hidup dengan aman dan damai, pemerintah pusat diharapkan segera tinjau kebijakan pengiriman militer nonorganik ke Papua dan tarik seluruh pasukan nonorganik yang ditempatkan di Intan Jaya.
Menanggapi hal tersebut Bambang menegaskan bahwa Komisi VII DPR menerima aspirasi masyarakat adat Intan Jaya. Dan pihaknya akan menindaklanjuti dengan serius, serta akan dilakukan koordinasikan dengan MIND ID, Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan dan Menteri ESDM. “Kita tidak ingin kemudaratan saja yang diterima Papua,” pungkas Bambang.
Komisi VII DPR RI menilai penambangan emas oleh Holding Industri Tambang BUMN Mind ID di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua yang berdampak pada pengusiran Masyarakat Papua selaku pemilik hak ulayat tertentu merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam sisi regulasi. Serta bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya masyarakat Intan Jaya, Papua.
“Komisi VII DPR RI sangat prihatin terhadap meningkatnya kekerasan bersenjata yang terjadi di tanah Papua yang mengakibatkan korban jiwa dari aparat TNI dan masyarakat Papua,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Hariyadi saat membuka rapat audiensi. dengan Tim Advokasi Hak Masyarakat Adat Intan Jaya.
Ia menegaskan bahwa eksploitasi penambangan emas oleh holding Mind ID di blok Wabu yang berdampak pada pengusiran masyarakat Papua selaku pemilik hak ulayat tertentu merupakan hal yang tidak dibenarkan dalam sisi regulasi tertentu. “Hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia, masyarakat Papua khususnya,”ujar Bambang.
Lebih lanjut ia memaparkan, sejatinya penambangan tidak menimbulkan konflik dengan masyarajat sekitar, karena pada saat pemetaan wilayah pertambangan, pelibatan masyarakat setempat sudah dilakukan. Berdasarkan Pasal 10 ayat 2, Undang-undang No: 3 tahun 2020, bahwa penetapan wilayah pertambangan dilaksankaan secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab.
Secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan dengan memperhatikan aspirasi daerah.(RLS/BEL)