JAYAPURA | Sopir taksi umum konvesional punya kontribusi mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh Karena itu, Pemerintah Provinsi Papua jangan tidur dan membisu. Harus ada langkah terpadu dan cepat menyelesaikan masalah tarif antara taksi konvensional dan taksi online.
Perbedaan masalah tarif antara kedua moda transportasi umum itu harus dituntaskan. Pasalnya, masalah ini telah mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Provinsi Papua. Lembaga yang konsen mengurusi rakyat kecil itupun mendesak Pemerintah Provinsi Papua untuk segera menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang kendaraan online.
Ketimpangan pendapatan antara taksi konvesional dan taksi online akibat perbedaan tarif bisa menimbulkan efek domino.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, S.H.,MH bersama Pengabdi Bantuan Hukum Reinhart Komboy, S.H menyebutkan sekalipun Pemerintah Provinsi Papua telah mengeluarkan keputusan melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Papua Nomor : 188.4 / 147 Tahun 2024 tentang penetapan tarif angkutan sewa khusus dengan tarif batas atas, tarif batas bawah dan tarif maksimal namun pada prakteknya tarif-tarif tersebut belum diberlakukan.
Tarif yang ditetapkan secara spesifik sebagai berikut :
Tarif batas atas per kilometer Rp. 7.700 rupiah;
Tarif batas bawah per kilometer Rp. 5.500 rupiah dan
Tarif maksimal per kilometer Rp. 33. 275 rupiah.
“Atas dasar itu kami simpulkan bahwa Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor : 188.4 / 147 Tahun 2024 tentang penetapan tarif angkutan sewa khusus belum terimplementasi,”ungkap Emanuel.
LBH juga mendesak Kepala Dinas Perhubungan Propinsi Papua segera implementasikan surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor : 188.4 / 147 Tahun 2024 tentang penetapan tarif angkutan sewa khusus serta pemilik aplikasi kendaraan online segera Implementasikan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor : 188.4 / 147 Tahun 2024 tentang penetapan tarif angkutan sewa khusus.
Menurut Emanuel dan Reinhart, kehadiran taksi online telah berdampak negatif kepada pengemudi angkutan umum konvensional. Ketimpangan harga memicu menurunnya penerimaan pendapatan sopir taksi konvesional.
Kondisi ini, menunjukan adanya diskriminasi dalam penegakan Undang Undang Nomor 22 Nomor 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Selain itu, dalam konteks berkurangnya pemasukan yang berdampak pada pemenuhan kebutuan pokok jelas-jelas melanggar ketentuan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (2), Undang Undang Dasar 1945.
LBH menilai kekosongan aturan hukum yang mengatur angkutan konvensional dan angkutan online telah melahirkan beberapa peristiwa yang memilukan dimulai dari terganggungnya pemasukan bagi pengemudi angkutan konvensional yang berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pokok (sandan, pangan dan papan) dan bahkan ada diantara pengemudi yang dikriminalisasi akibat memperjuangkan aturan hukum di daerah yang dapat mengatur kendaraan online di wilayah Propinsi Papua.
“Akibat kekosongan kebijakan terkait angkutan umum online sering memicu konflik antara sopir angkutan umum konvensional dengan angkutan umum online dijalanan,”ujar Emanuel.
Direktur LBH menegaskan bahwa masalah ini harus segera direspon pemerintah. Pasalnya, perbedaan perlakuan terhadap angkutan umum konvesional dan angkutan online merugikan para sopir yang selama ini melayani masyarakat ditingkat bawah.
“Angkutan umum konvensional dibebankan biaya pajak trayek, uji kelayakan kendaraan, pembayaran perpanjangan STNK dan Surat Ijin Pengemudi. Sedangkan angkutan online tidak membayarkan pajak trayek dan uji kelayakan,”ungkapnya.
Selain itu, latar belakang pengemudi angkutan umum konvensional adalah mereka yang bermata pencaharian sebagai pengemudi saja sementara latar belakang pengemudi angkutan umum online hanya menjadikan aktifitas pengemudi sebagai pekerjaan tambahan dari pekerjaan pokok mereka yang beragam mulai dari honorer, karyawan swalayan hingga pekerjaan lainnya.
“Fakta perbedaan ini dan perlakuan dalam pembayaran diatas tentunya telah menunjukan adanya diskriminasi,”tandas Emanuel Gobay.
Editor | SIMSON RUMAINUM