“Dua hal ini tiada batasnya,” kata Einstein. “Yaitu: alam semesta dan kebodohan manusia.”
Namun melihat perang antara Israel dan Hamas yang merupakan faksi militer dari Palestina, bertambah lagi yang tak berbatas itu. Yaitu dendam manusia, dan rasa tega manusia.
Mari kita mulai dengan data. Ini perang baru masuk hari kelima. Tapi lihatlah, sudah 2.000 orang yang tewas. Sebanyak 200.000 rakyat Palestina mengungsi.
Sekitar 800 rumah rata dengan tanah. Sebanyak 5400 rumah rusak parah. Dan 2 juta manusia terkena dampak berat hidup di wilayah perang.
Pasokan listrik diputus. Jalur air diganggu. Supply makanan diblokir. Di jalur Gaza, penyakit, kelaparan, rasa takut, rasa terancam, cemas, kini meraja rela.
Lihatlah puluhan ribu anak-anak di sana. Mereka tak mengerti apa yang terjadi, tapi ikut menderita jiwa dan raga karenanya.
Di manakah ujung dari perang antara Israel dan Hamas sekarang ini? Maka ada tiga skenario.
Pertama, gencatan senjata akan terjadi secepatnya. Itu hasil inisiatif dari Israel dan Hamas sendiri, ataupun ini dipaksakan oleh dunia internasional. Misalnya ini intervensi oleh PBB, Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Semua menyadari. Perang ini tak akan dimenangkan oleh siapapun. Menambah waktu perang, hanya menambah jumlah korban dan derita, semakin lama semakin banyak.
Skenario kedua: perang ini akan terus berlanjut berbulan-bulan, mungkin juga melampaui setahun. Ia mengulangi durasi perang yang terjadi di Rusia melawan ukrania sekarang ini.
Mengapa perang ini berarut-larut? Israel merasa bisa menumpas Hamas. Tapi ternyata Hamas tak bisa ditumpas secepat itu. Hamas merasa bisa mengalahkan Israel. Apalagi Israel, ia pun tak bisa dikalahkan secepat itu.
Yang tersisa akhirnya perang yang berlarut-larut dan korban manusia yang juga bertambah- tambah.
Skenario ketiga, ini kita harap: terjadil satu solusi yang lebih permanen. Hanya solusi permanen yang membuat perang gila-gilaan ini adalah tikungan kungan terakhir.
Solusi permanen itu, tak lain dan tak bukan berdirinya dua negara yang merdeka, berdaulat dan berdamai. Israel yang merdeka. Di sisinya, Palestina yang juga merdeka.
Tapi mengapa solusi dua negara ini tak kunjung bisa selesai? Itu karena mereka selalu buntu untuk untuk batas teritori. Dimanakah batas negara Israel itu harus diterapkan?
Apakah batas Israel adalah batas yang sekarang ini? Ataukau batasnya adalah batas sebelum perang dengan Arab di tahun 1973? Itu dua batas yang sangat berbeda.
Kedua, bagaimana posisi Yerusalem? Apakah ia seluruhnya akan menjadi Ibu Kota Israel? Ataulah Jerusalem akan dibagi dua, sebagian buat Israel, sebagian buat Palestina?
Ini solulsi “land for peace.” Berikan kami tanah ini, maka kami akan beri damai yang kalian minta. Baik Israel dan Palestina meminta tanah yang menjadi sengketa. Baik Israel dan Palestina tak mau memberi tanah itu.
Negosasi perebutan tanah ini tak kunjung selesai, dari dulu hingga sekarang. Inilah pangkal muara, yang menjadi ibu kandung konflik, yang hingga kini beranak pianak kekerasan.
Semoga kebodohan manusia, rasa dendam, dan rasa tega itu ada batasnya.*
DENNY JA ADALAH PENULIS DAN TOKOH SASTRA INDONESIA
PENERIMA ANUGERAH THE WORLD NO 2 GOLDEN TWEET 2014 DAN GUINES WORLD RECORDS
PENDIRI LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)