JAYAPURA | Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) harus jujur mengakui lalai dalam membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P Provinsi Papua tahun 2022.
Pimpinan DPRP harusnya memberikan pernyataan terbuka ke publik dan mengakui kesalahan dewan dan meminta maaf kepada rakyat Papua. Pasalnya, dampak dari tidak bahasnya APBD-P, saat ini mulai dirasakan masyarakat Papua dengan menurunya pelayanan berbagai instansi pemerintah akibat tidak ditopang anggaran tambahan.
Pernyataan itu disampaikan Forum Pemuda Peduli Papua (FPPP) saat audiens dengan Fraksi Partai Demokrat DPR Papua, pekan ini di Jayapura. FPPP menanyakan polemik APBD-P Papua tahun 2022.
“Seharusnya peryataan terbuka dari pimpinan DPRP dan harus mengakui itu dan gentleman jujur kepada rakyat Papua, kami minta maaf atas kelalaian kami. Itu yang rakyat Papua tunggu, sejauh ini belum disampaikan,” ungkap Sekretaris FPPP, Rando Rudamaga, Kamis, 20 Oktober 2022 di ruang Fraksi Partai Demokrat, Kantor DPRP, Kota Jayapura.
Dalam pertemuan tersebut, FPPP diterima Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR Papua, Thomas Sondegau, ST didampingi Anggota Fraksi Demokrat, Benyamin Arisoy, SE, MSi.
“Kami bersama teman-teman pimpinan organisasi kepemudaan dan perwakilan dari BEM perguruan tinggi Uncen dan swasta, kami datang melakukan audiensi langsung untuk mendengarkan penjelasan yang disampaikan Fraksi Demokrat DPR Papua, itu sangat detail dan berbeda dengan penyampaikan Ketua DPR Papua di beberapa media dan pertemuan di Horison Kotaraja,” kata Rando.
Menurutnya, apa yang disampaikan Fraksi Demokrat DPR Papua sangat detail, sehingga harus terbuka kepada publik agar masyarakat Papua mengetahuinya. Soal polemik APBD Perubahan tahun anggaran 2022 di lembaga DPR Papua telah selesai dengan digelarnya rapat Badan Musyawarah (Bamus) diperluas.
Rando mengatakan, jika menurut Fraksi Demokrat DPR Papua bahwa rapat bamus itu bertujuan dalam rangka pimpinan DPR Papua harus menyampaikan permohonan maaf kepada publik, namun tidak juga dilakukan bahwa DPR Papua gagal melakukan sidang APBD Perubahan. Sedangkan, Perkada masih menunggu dari eksekutif, kemudian dikirim ke Dirjen Keuangan Kemendagri.
Sementara itu, Wakil Ketua I Forum Pemuda Peduli Papua, Yansen Kareth menambahkan, DPR Papua merupakan representasi dari rakyat Papua dengan tugas utama mengawal kepentingan rakyat melalui berbagai anggaran yang disepakati bersama eksekutif.
“Kami melihat bahwa yang baru dilakukan di lembaga ini, memang baru pertama kali. Ini menjadi rekam jejak yang kurang baik dan sejarah catatan buruk dalam lembaga DPR Papua, sehingga jangan sampai terjadi lagi,” katanya.
Soal APBD Perubahan menggunakan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) wajar dilakukan, ia mengakui memang benar dan wajar dilakukan, apalagi ada peraturan pemerintah yang mengatur itu, namun Perkada ini memiliki kewenangan yang terbatas.
“Kita melihat sendiri, DPR Papua tidak boleh mencari pengakuan dan pujian, tapi melaksanakan kewajiban sebagai anggota dewan terhormat,” ujarnya.
Apalagi, imbuhnya, eksekutif dan legislatif sejajar fungsinya, sedangkan DPR Papua ada hak-hak mereka seperi interpelasi untuk memanggil pihak terkait, termasuk hak angket, namun hak itu tidak dijalankan.
Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPR Papua, Thomas Sondegau mengaku jika Forum Pemuda Peduli Papua melakukan audiensi untuk mempertanyakan situasi terjadi di lembaga DPR Papua, terutama menyangkut sidang APBD Perubahan yang tidak terlaksana.
“Sidang APBD Perubahan tidak berjalan, juga menyoroti terkait OPD terutama 402 orang tenaga medis yang belum dibayarkan, kenapa DPR Papua tidak menjalankan APBD Perubahan. Itu tujuan utama mereka datang,” katanya.
Meski melalui media Ketua DPR Papua sudah menjelaskan dan bertemu dengan mereka, namun kata Thomas Sondegau, mereka tidak menerima dan harus menanyakan itu.
“Kenapa Fraksi Demokrat membuka ini dari awal, dengan menyatakan sikap tak percaya kepada Ketua DPR Papua. Mereka juga menanyakan apakah dengan tidak digelar sidang APBD Perubahan itu, ada dampak-dampaknya,” ujarnya.
“Kita lihat hari ini, 402 tenaga medis belum dibayarkan. RSJ Abepura juga menyerahkan aspirasi kepada Komisi V DPR Papua, lalu di media yang ramai bahwa DPR Papua seolah-olah tidak melaksanakan baik demokrasi maupun masalah pembangunan, seolah-olah mencari kepentingan. Kenapa tidak melakukan kepentingan besar untuk rapat? Jika tidak sidang, ya tidak semua berjalan,” sambungnya.
Yang jelas, Thomas mengaku jika sudah menjelaskan kepada FPPP bahwa dengan berdasarkan Perkada, APBD Perubahan bisa berjalan, namun hanya beberapa item seperti beasiswa, bantuan pengungsi dan kesehatan, namun hal-hal urgen seperti pembangunan gedung, tidak bisa dilakukan karena harus ada sidang.
“Mereka lebih banyak berbicara kenapa Ketua DPR Papua tidak membicarakan tentang hak kesulungan orang asli Papua, seperti kasus mutilasi di Timika, kejadian penembakan dimana-mana itu, lembaga ini harus bersuara, Mereka melihat lembaga ini seolah-olah tidak bersuara, sehingga mereka datang,” tandasnya.
Thomas menambahkan mereka juga menanyakan dampak ketika tidak ada sidang APBD Perubahan, sehingga pihaknya menjelaskan jika tiga bulan ke depan meski ada uang yang tersedia dengan memakai Perkada, bisa saja dilakukan.
“Untuk itu, kami akan fokus untuk mengejar pembahasan APBD Induk 2023 secepatnya untuk menjawab segalanya ini. Soal polemik di lembaga ini, kami sudah rapat dan saling memaafkan dan itu tanda bahwa DPR Papua ini mau kerja, yang lalu biar berlalu, kita mau rubah dan maju,” imbuhnya.(RAM/RL)