JAKARTA | Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) asal Tanah Papua, Filep Wamafma mempertanyakan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebesar Rp1000,7 triliun termasuk Rp 500 Triliun dikelola dimasa Gubernur Papua Lukas Enembe.
Filep menyatakan bila dibandingkan dengan resmi yang dikeluarkan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI, maka data yang disebutkan Menkopolhukan tidak sebesar angka yang disebutkan. Pasalnya, data dari Kemenkeu menyebutkan total transfer dana Otsus dari 2002 hingga 2022 sebesar Rp154,91 triliun.
“Pernyataan Menkopolhukam ini membingungkan ya. Darimana data yang menunjukkan bahwa dana Otsus yang ditransfer ke Papua sampai sekarang berjumlah Rp 1000 triliun? Karena kita lihat data dari Dirjen Perimbangan Keuangan RI menunjukkan total dana Otsus sampai 2022 sebesar Rp154,91 triliun,” ujar Filep, Sabtu (24/9/2022).
“Jadi awal ada Otsus, dananya Rp1,3 triliun. Peningkatan tiap tahun sebesar 7,8%. Tahun 2022 ini dananya Rp12,8 triliun. Kenapa bisa dibilang sampai seribu triliun? Kalau seribu triliun, bisa-bisa seluruh Papua sudah jadi megapolitan”, sambung Filep.
Lebih lanjut, Filep juga menyoroti pernyataan Mahfud MD soal dana Otsus era kepemimpinan Lukas Enembe yakni sejak tahun 2013 hingga saat ini. Merujuk pada data Dirjen Perimbangan Keuangan di atas, Filep memaparkan bahwa transfer Dana Otsus di tahun 2013 adalah sebesar Rp 4,927,378,620,000,- tahun 2014 Rp 6,777,070,560,000,- tahun 2015 Rp 7,190,429,880,000,- tahun 2016 Rp 7,382,551,859,000,- tahun 2017 Rp 8,205,152,407,000,- tahun 2018 Rp 8,025,368,558,085,- tahun 2019 Rp 8,674,676,695,000,- dan tahun 2020 Rp 7,999,969,920,000,-
“Sementara tahun 2021 dan 2022, dalam jumlah yang belum dibagi ke provinsi-provinsi, masing-masing sebesar Rp 11,927,300,000,000 dan Rp 12,876,300,000,000. Totalnya Rp 83,98 triliun. Sekali lagi, data Pak Mahfud itu darimana?” tanya Filep.
Filep juga menyinggung kemiskinan di Papua sejak adanya kebijakan Otsus. Menurutnya, dana Otsus tetaplah berdampak, walaupun penurunan kemiskinan berjalan lambat.
“Di Papua, persentase penduduk miskin terus menurun dari 37,08% pada tahun 2008 menjadi 27,38% di tahun 2021. Begitu pula di Papua Barat tercatat di tahun 2008 yaitu sebesar 35,12% turun menjadi 21,82% di tahun 2021. Penurunannya memang berjalan lambat, namun ada kinerja disana. Nah, justru di sinilah yang harus dikoreksi pemerintah. Coba juga dicek berapa dana Otsus yang dikelola lembaga-lembaga kementerian. Dibuka semua sejelas-jelasnya,” kata Filep.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini lantas meminta agar pemerintah lebih berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan pernyataan untuk menghindari disinformasi di tengah publik.
“Saya selaku anggota DPD RI, meminta agar pemerintah berhati-hati dalam memberikan pernyataan terutama menyangkut data seperti ini. Ini kan bisa menciptakan opini publik yang tidak menentu. Bisa juga menciptakan kecemburuan sosial daerah lain. Papua ini sudah dipenuhi masalah, jadi saya harap pemerintah juga memberi pernyataan yang menyejukkan,” jelas Filep di ruang kerjanya.
Pada bagian lain, Senator Filep Wamafma berharap Gubernur Papua Lukas Enembe mampu membuktikan asal dana yang digunakan untuk Kasino tersebut. “Pak Lukas ini orang yang sangat kooperatif. Saya secara pribadi berharap agar beliau mampu menyampaikan secara terang-benderang, dan juga yang lebih penting lagi adalah kebenaran harus diungkapkan,” kata Filep, Kamis (22/9/2022).
Lebih lanjut, Filep berharap laporan PPATK soal dugaan transfer dana ke Kasino tidak menjadi bumerang jika terbukti dana itu bukan hasil dari korupsi.
“Awal kasus ini kan ada dugaan gratifikasi 1 Miliar. Lalu menjadi melebar ke Kasino karena PPATK menemukan transaksi ke Kasino. Nah, transaksi ini justru yang menjadi konsumsi publik saat ini. Ini kan bisa jadi bumerang kalau transfer ke Kasino itu bukan dari hasil tipikor,” jelas Filep.
Anggota Komite I DPD RI ini juga merasa prihatin atas lemahnya pengawasan dari perbankan terkait aktivitas perjudian. Oleh sebab itu, Filep Wamafma mengusulkan agar ada pengaturan khusus sehingga perbankan tidak terlibat dalam transaksi perjudian.
“Kalau ada transfer ke Kasino, berarti ada fasilitasi dari pihak perbankan. Ini kan pengawasan dan pencegahannya lemah,” ungkap Filep.
“Minimal dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) antara penegak hukum, baik Kapolri, Jaksa Agung, dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya pihak bank dilarang untuk menyediakan fasilitas deposit judi. Di sana bisa diberikan sanksi tertentu,” sambung senator Filep.(END/RLS)