JAKARTA | Hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter.
Fenomena ini terjadi diduga kuat berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan salju abadi di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua terus mengalami pencairan dan menuju kepunahan.
“Dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi di Puncak Jaya,”
Seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es ialah satu meter per tahun. Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat dimana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Sedangkan, pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 km2. “Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya,” kata Dwikorita dalam keterangan resminya.
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi. Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
Mitigasi ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan melakukan aksi-aksi nyata dalam melakukan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia.
Caranya, dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim. “Serta kerjasama lintas sektor dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia perlu terus diperkuat,” kata Dwikorita.
Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, merupakan bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan. Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.(RED/RL)